BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ilmu
pengetahuan adalah sebaik-baik sesuatu yang disukai, sepenting-penting sesuatu
yang dicari dan merupakan sesuatu yang paling bermanfaat, dari pada selainnya.
Kemuliaan akan didapat bagi pemiliknya dan keutamaan akan diperoleh oleh orang
yang memburunya.
Allah SWT,
tidak mau menyamakan orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu,
disebabkan oleh manfaat dan keutamaan ilmu itu sendiri dan manfaat dan
keutamaan yang akan didapat oleh orang yang berilmu.
Dalam
kehidupan dunia, ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan memberikan kemudahan bagi kehidupan
baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan bermasyarakat. Menurut
al-Ghazali dengan ilmu pengetahuan akan diperoleh segala bentuk kekayaan,
kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, jabatan, dan kekuasaan. Apa yang dapat
diperoleh seseorang sebagai buah dari ilmu pengetahuan, bukan hanya diperoleh
dari hubungannya dengan sesama manusia, para binatangpun merasakan bagaimana
kemuliaan manusia, karena ilmu yang ia miliki. Dari sini, dengan jelas dapat
disimpulkan bahwa kemajuan peradaban sebuah bangsa tergantung kemajuan ilmu
pengetahuan yang melingkupi.
Dalam
kehidupan beragama, ilmu pengetahuan adalah sesutau yang wajib dimiliki, karena
tidak akan mungkin seseorang mampu melakukan ibadah yang merupakan tujuan
diciptakannya manusia oleh Allah, tanpa didasari ilmu. Minimal, ilmu
pengetahuan yang akan memberikan kemampuan kepada dirinya, untuk berusaha agar
ibadah yang dilakukan tetap berada dalam aturan-aturan yang telah ditentukan.
Dalam agama, ilmu pengetahuan, adalah kunci menuju keselamatan dan kebahagiaan
akhirat selama-lamanya.
Uraian di
atas hanyalah uraian singkat betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia,
baik untuk kehidupan dirinya pribadi, maupun dalam hubungan dirinya dengan
benda-benda di sekitarnya. Baik bagi kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Ada banyak hadits, firman Allah, dan pendapat para ulama tentang pentingnya
ilmu pengetahuan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Keutamaan Ilmu dan Hukum Mencarinya?
2.
Hadits Mana dang Menjelaskan
Pentingnya Ilmu?
3. Bagaimana
Adab Mencari Ilmu?
4. Bagaimana Adab Pelajar dan Pengajar?
5. Bagaimana Hilangnya Sebuah Ilmu?
C.
Tujuan Masalah
- Mengetahui
Apa Keutamaan Ilmu dan hukum mencarinya
- Mengetahui
hadits yang menjelaskan pentingnya ilmu
- Mengetahui
adab mencari ilmu
- Mengetahui
adab pelajar dan pengajar
- Mengetahui
sebab hilangnya sebuah ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keutamaan Ilmu dan Kewajiban Mencarinya
Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu
(alima, ya’lamu, ‘ilman) yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Ilmu dari
segi Istilah ialah Segala pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu yang
datang dari Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-rasulNya dan alam ciptaanNya
termasuk manusia yang memiliki aspek lahiriah dan batiniah.
Ilmu merupakan kunci untuk menyelesaikan segala
persoalan, baik persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama maupun
persoalan yang berhubungan dengan kehidupan duniawi. Ilmu diibaratkan dengan
cahaya, karena ilmu memiliki fungsi sebagai petunjuk kehidupan manusia, pemberi
cahaya bagi orang yang ada dalam kegelapan.
Islam
adalah sebuah agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, bukan hanya dalam
teori tapi juga dalam praktik/kenyataan. Penghargaan ini terungkap dengan
adanya ayat Al-Qur’an dan hadits yangmemberikan pujian terhadap orang yang
berilmu. Al-Qur’an mengumpamakan orang yag berilmu yakni orang yang melihat (al
bashir) sedangkan orang yang tidak berilmu di umpamakan sebagai orang yang buta
(al a’ma), dan tentunya antara keduanya ini sangat lebih utama orang yang
mempunyai penglihatan. Selain itu penghargaan terhadap ilmu juga dapat kita
lihat dari janji-janji Allah bagi orang yang berilmu seperti dalam ayat Al-Qur’an
surah Al-Mujadilah ayat 11 yang berbunyi:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Artinya: Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Selain dalam surah al-Mujadilah, Allah juga berfirman
mengenai keutamaan ilmu dalam surah az-Zumar ayat 9
قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَاَلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Katakanlah (Wahai Muhammad!):
‘Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?’”. (QS.
Az-Zumar: 9)
Banyak
hadits berbicara tentang ilmu pengetahuan terutama mengenai keutamaan
ilmu. Bahkan Kewajiban menuntut ilmu
terpikulkan kepada umat islam.
Sebelum
Al-Ghazali memerincikan, Tidak ada keterangan secara spesifik menerangkan ilmu
apa yang harus dicari, bagaimana hukumnya apakah fardhu ain ataukan fardhu
kifayah ilmu apa yang harus dicari, bagaimana hukumnya apakah fardhu ain
ataukan fardhu kifayah.Dan baru ada setelah beliau menyatakan bahwa hukum
menuntut ilmu agama adalah fardhu ain dan ilmu non agama sepertihalnya
matematika, kedokteran, fisika dihukumi sebagai fardhu kifayah yakni kewajiban
bagi orang yang kompeten. Oleh karenanya, jika di sebuah wilayah telah ada yang
menjalankannya dengan baik maka kewajiban yang lain telah gugur. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya penafsiran Al-Ghazali dinyatakan telah
melemahkan semangat umat islam dalam mencari ilmu non agama. Oleh karena itu
maka muncul pendapat baru bahwa hukum dari menuntut ilmu baik agama ataupun non
agama adalah fardhu ain.
Terlepas
dari penafsiran diatas ada banyak manfaat dalam menuntut ilmu seperti yang
dikatakan ali bin abi thalib dalam kitab ihya’ Al-Ghazali, ali berkata kepada
kumail: hai kumail ! ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjaga engkau
dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum dan harta itu terhukum harta itu
berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu akan bertambah[1].
Juga
dikisahkan bahwa nabi Sulaiman bin Daud AS disuruh memilih antara ilmu, harta,
dan kerajaan (kekuasaan). Dan nabi suliman memilih ilmu dengan alasan akan
sia-sia harta dan akan hancur kerajaan
tersebut jika tidak dibarengi dengan ilmu. Maka kemudian di berikan kepadanya
harta dan kerajaan tersebut. Dari kisah diatas dapat kita tarik kesimpulan
bahwa hal yang bersifat duniawi maupun yang bersifat akhirat akan menghampiri
kita dengan sendirinya apabila kita berilmu.
B. Hadits-Hadits
Yang Menjelaskan Pentingnya Ilmu
Hadits-hadits yang menjelaskan pentingnya ilmu sangat banyak, dan tidak
mungkin disebutkan semuanya dalam makalah ini. Para ulama ahli hadits pada
umumnya menuliskan bab tersendiri yang menjelaskan pentingnya ilmu. Mereka
bahkan menulis sebuah kitab yang khusus menjelaskan betapa pentingnya ilmu bagi
seluruh sendi kehidupan, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Sabda Rasulullah SAW:
اَلْعُلَمَاءُ
وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان)
Artinya :“Orang-orang
yang berilmu adalah ahli waris para nabi” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban)
Tentu sudah diketahui, bahwa tidak ada kedudukan di atas kenabian dan tidak
ada kemuliaan di atas kemulian mewarisi kedudukan kenabian tersebut.
Rasulullah SAW bersabda:
يَسْتَغْفِرُ
لِلْعَالِمِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه
وابن حبان)
Artinya: “Segala apa yang
ada di langit dan bumi memintakan ampun untuk orang yang berilmu”. (HR. Abu
Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Rasulullah SAW bersabda:
أَفْضَلُ
النَّاسِ الْمُؤْمِنُ الْعَالِمُ الَّذِيْ إِنِ احْتِيْجَ إِلَيْهِ نَفَعَ وَإِنِ
اسْتُغْنِيَ عَنْهُ أَغْنَى نَفْسَهُ (رواه البيهقي)
Artinya: “Seutama-utama
manusia ialah seorang mukmin yang berilmu. Jika ia dibutuhkan, maka ia menberi
manfaat. Dan jika ia tidak dibutuhkan maka ia dapat memberi manfaat pada
dirinya sendiri”. (HR. Al-Baihaqi)
Hadits ini menjelaskan bagaimana keutamaan ilmu bagi seseorang, dimana ia
akan memberikan manfaat dan dibutuhkan oleh orang-orang disekitarnya. Bahkan
jika seorang yang berilmu terangsingkan dari kehidupan sekitarnya, ilmu yang ia
miliki akan memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, dan menjadi penghibur
dalam kesendiriannya.
Tentang pentingnya ilmu Rasulullah
SAW bersabda:
مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Barang siapa
dikehendaki bagi oleh Allah, maka Allah memberi kepahaman untuknya tentang
ilmu”, (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini adalah hadits yang urgen, dimana seolah-olah Allah
menggantungkan kebaikan seseorang terhadap kepahamannya terhadap agama, dalam
arti kwalitas dan kwantitas ilmunya dalam masalah agama. Dari sini dapat
diketahui bahwa ilmu adalah penting, karena ia menjadi penentu baik dan buruk
seseorang. Dengan ilmu ia akan membedakan salah dan benar, baik dan buruk dan
halal dan haram.
Dalam hadits lain Rasulullah SAW
bersabda:
إنَّ مَثَلَ
مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى , وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ
أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ , فَأَنْبَتَتْ
الْكَلَاَ , وَالْعُشْبَ
الْكَثِيرَ , وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ , فَنَفَعَ
اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا , وَسَقَوْا , وَزَرَعُوا ,
وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ الْمَاءَ
, وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً , فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ ,
وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ , فَعَلِمَ ,
وَعَلَّمَ , وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا , وَلَمْ
يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Perumpamaan
apa yang dituliskan oleh Allah kepadaku yakni petunjuk dan ilmu adalah seperti
hujan lebat yang mengenai tanah. Dari tanah itu ada yang gemburyang dapat
menerima air lalutumbuhlah padang rumput yang banyak. Dari panya ada yang keras
dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput. Demikian itu perumpamaan
orang yang tidak menolak kepadanya, dan mengajar, dan perumpamaan orang yang
pandai agama Allah dan apa yang dituliskan kepadaku bermanfaat baginya, ia
pandai dan mengajar, dan perumpamaan orang yang tidak menolak kepadanya, dan ia
tidak mau menerima petunjuk Allah, yang mana saya di utus dengannya”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari Sahal bin Sa’ad RA, ia
menceritakan sabda Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib:
فَوَاَللهِ
لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا , وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
(رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Demi Allah! Jika Allah
memberi petunjuk kepada seseorang karenamu, maka itu lebih baik dari pada
himar-himar ternak” (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ دَعَا
إلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ , لَا
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا , وَمَنْ دَعَا إلَى ضَلَالَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa mengajak
kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang
mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun dari phala-pahala itu. Barang siapa
mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa-dosa orang yang
mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa itu” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW
bersabda:
إذَا مَاتَ
ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ , أَوْ
عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ , أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Jika anak Adam
meninggal, maka terputuslah semua amalnya kecuali dari tiga perkara, shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)
C. Adab
Mencari Ilmu
Menuntut
ilmu adalah satu keharusan bagi kita kaum muslimin. Banyak sekali dalil yang
menunjukkan keutamaan ilmu, para penuntut ilmu dan yang mengajarkannya.
Adab-adab dalam menuntut ilmu yang harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut
berfaidah bagi kita dan orang yang ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-
adab tersebut di antaranya adalah[2]:
1. Ikhlas karena Allah.
Hendaknya niat kita dalam menuntut
ilmu adalah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk negeri akhirat. Tetapi kalau
ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA atau
Doktor, misalnya ) bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena sudah
menjadi peraturan yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan
yang lebih tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam
menyampaikan ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat
yang benar.
2. Untuk menghilangkan kebodohan dari
dirinya dan orang lain.
Semua manusia pada mulanya adalah
bodoh. Kita berniat untuk meng-hilangkan kebodohan dari diri kita, setelah kita
menjadi orang yang memiliki ilmu kita harus mengajarkannya kepada orang lain
untuk menghilang kebodohan dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada
orang lain itu dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari
ilmu kita. Imam Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya
benar. Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab:
ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk
membela syari'at.
Sudah menjadi keharusan bagi para
penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk
membela syari'at. Karena kedudukan syari'at sama dengan pedang kalau
tidak ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu
harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bid'ah),
sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah saw. Hal ini tidak ada yang bisa
melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai petunjuk
Al-Qur'an dan As-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan
pendapat.
Apabila ada perbedaan pendapat,
hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama
perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan aqidah, karena
persoalaan aqidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
salaf.
5. Mengamalkan ilmu yang telah
didapatkan.
Termasuk adab yang tepenting bagi
para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, karena amal
adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena
orang yang telah memiliki ilmu adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau
senjata (pedang) tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan).
6. Menghormati para ulama dan
memuliakan mereka.
Penuntut ilmu harus selalu lapang
dada dalam menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan
sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang kebetulan keliru di dalam
memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang biasa saja sudah termasuk dosa besar,
apalagi kalau orang itu adalah seorang ulama. Ini adalah masalah yang sangat
penting, karena sebagian orang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain untuk
menjatuhkan mereka dimata masyarakat. Ini adalah kesalahan terbesar.
7. Mencari kebenaran dan sabar.
Termasuk adab yang paling penting
bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu yang
telah didapatkan. Mencari kebenaran dari berita berita yang sampai kepada kita
yang menjadi sumber hukum. Ketika sampai kepada kita sebuah hadits misalnya,
kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau
sudah kita temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi
mencari makna (pengertian) dari hadits tersebut.Hendaklah sabar dalam menuntut
ilmu, tidak terputus (ditengah jalan) dan tidak pula bosan, bahkan terus
menerus menuntut ilmu semampunya. Kisah tentang kesabaran salafush shalih dalam
menuntut ilmu sangatlah banyak, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
radhiallahu anhuma bahwa beliau ditanya oleh seseorang: “Dengan apa anda bisa
mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab: “Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati
yang selalu memahami serta badan yang tidak pernah bosan.”
8. Memegang Teguh Al Kitab dan As
Sunnah
Wajib bagi para penuntut ilmu untuk
mengambil ilmu dari sumbernya, yang tidak mungkin seseorang sukses bila tidak
memulai darinya, yaitu:
a. Al-Qur’anul Karim; Wajib bagi para
penuntut ilmu untuk berupaya membaca, menghafal, memahami dan mengamalkannya.
b. As Sunnah As Shahihah; Ini adalah
sumber kedua syariat Islam (setelah Al Qur’an) dan penjelas al Qur’an Karim.
c. Sumber ketiga adalah ucapan para
ulama, janganlah anda menyepelekan ucapan para ulama karena mereka lebih mantap
ilmunya dari anda.
9. Berupaya Untuk Memahami Maksud Allah
dan Rasul-Nya
Termasuk adab terpenting pula adalah
masalah pemahaman tentang maksud Allah dan juga maksud Rasulullah SAW; Karena banyak orang yang diberi
ilmu namun tidak diberi pemahaman. Tidak cukup hanya menghapal al Qur’an dan
hadits saja tanpa memahaminya, jadi harus dipahami maksud Allah dan Rasul-Nya SAW. Alangkah banyaknya penyimpangan
yang dilakukan oleh kaum yang berdalil dengan nash-nash yang tidak sesuai
dengan maksud Allah dan Rasul-Nya SAW sehingga timbullah kesesatan karenanya.
D. Adab Pelajar dan Pengajar
Adapun
pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang dhohir adalah[3]:
a. Tugas pertama : mendahulukan
kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat–sifat tercela. Karena ilmu
pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat batin dan pendekatan jiwa kepada Allah
Ta’ala. Sebagaimana tidak syah shalat yang menjadi tugas anggota dhahir,
kecuali dengan mensucikan anggota dhahir itu dari segala hadats dan najis, maka
begitu pulalah tidak syah kebaktian bathin dan kemakmuran hati dengan ilmu
pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan
sifat.
b. Tugas kedua : seorang pelajar itu
hendaklah mengurungkan hubungannya dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari
kaum keluarga dan kampung halaman. Sebab segala hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan
hati kepada yang lain. Dan apabila pikiran itu telah terbagi maka kuranglah
kesanggupannya mengetahui hakikat – hakikat yang mendalam dari ilmu
pengetahuan. Dari itu dikatakan : ilmu tidak akan menyerahkan kepadamu sebagian
dari padanya sebelum kamu menyerahkan seluruh jiwa ragamu kepadanya.
c. Tugas ke tiga : seorang pelajar itu
jangan menyombongkan dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi
menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasehatnya,
sebagaimana seorang sakit yang bodoh yakin pada dokter yang ahli berpangalaman.
d. Tugas keempat : seorang pelajar pada
tingkat permulaan , hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang
tentang ilmu pengetahuan. karena yang demikian itu dapat membawanya pada
berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya. Tapi yang wajar ialah meneliti pertama kalinya
suatu cara saja yang dipuji dan disukai gurunya. Sesudah itu barulah boleh
mendengar madzhab – madzhab dan keserupaan yang ada diantaranya.
Di
antara tugas – tugas penunjuk jalan kebenaran ( mursyid ), yang mengajar (
mu’allim ) diantaranya adalah sebagai berikut :[4]
a) Tugas pertama : mempunyai rasa belas
kasihan kepada murid – murid dan memperlakuan mereka sebagai anak sendiri
b) Tugas ke dua : bahwa mengikuti jejak
Rasul saw. maka ia tidak mencari upah, balasan dan terima kasih dengan mengajar
itu. Tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepadanya. Tidak
ia melihat bagi dirinya telah menanam budi kepada murid – murid itu,meskipun
murid – murid itu harus mengingati budi baik orang kepadanya.
c) Tugas ke tiga : bahwa tidak
meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang demikian itu, ialah dengan
melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum berhak pada tingkat itu. Dan
belajar ilmu yang tersembunyi, sebelum selesai ilmu yang terang.
d) Tugas ke empat : yaitu termasuk yang
halus – halus dari mengajar, bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai
jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang.
Dan dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab kalau dengan
cara terus terang, merusakkan takut murid kepada gurunya. Dan mengakibatkan dia
berani menentang dan suka meneruskan sifat yang jahat itu.
E.
Hilangnya Sebuah Ilmu
Rasulullah SAW bersabda
yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ
رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu
dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka
manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka
ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan"[5]
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ulama menempati posisi sangat penting di masyarakat. Karena memiliki otoritas tidak
hanya di bidang keagamaan, sosial, politik tetapi juga pendidikan. Lembaga pendidikan
seperti masjid, madrasah dan lain-lain adalah sumbangsih ulama. Melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang didirikan dan kitab-kitab yang ditulisnya, ulama bertindak sebagai penerjemah
doktrin-doktrin islam yang otoritatif, dan sekaligus sebagai jembatan dari
proses transmisi nilai-nilai keagamaan, khususnya yang melalui pendidikan.
Pembahasan ulama,
kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan
yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung
umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah SAW. Mereka adalah sederetan orang
yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang
dirahmati yaitu jalan yang lurus. Oleh karena
itu ketika seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan dan
memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka
yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya dan akan binasa.
Allah SWR mengangkat mereka dengan ilmu,
menghiasi mereka dengan sikap kelemahlembutan. Dengan keberadaan mereka, diketahui yang
halal dan haram, yang hak dan yang batil, yang mendatangkan mudharat dari yang mendatangkan manfaat, yang
baik dan yang jelek. Keutamaan mereka besar,
kedudukan mereka mulia. Mereka adalah pewaris para Nabi dan pemimpin para wali.
Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun buat mereka, malaikat dengan sayap-sayapnya
menaungi mereka dan tunduk. Para ulama pada hari kiamat akan memberikan syafa’at
setelah para Nabi, majelis-majelis mereka penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal
mereka menegur orang-orang yang lalai.
Mereka lebih utama dari ahli
ibadah dan lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang zuhud. Hidup mereka merupakan
harta ghanimah bagi umat dan mati mereka merupakan musibah. Mereka mengingatkan
orang-orang yang lalai, mengajarkan orang-orang yang jahil. Tidak pernah terlintas
bahwa mereka akan melakukan kerusakan dan tidak ada kekhawatiran mereka akan membawa
menuju kebinasaan. Dengan kebagusan adab mereka, orang-orang yang bermaksiat terdorong
untuk menjadi orang yang taat. Dan dengan nasihat mereka, para pelaku dosa bertaubat.
Dalam Islam, ulama memiliki beberapa peran social keagamaan. Pertama, sebagai guru yang
mengajarkan cara membaca al-Quran dan ajaran Islam. Kedua, sebagai penafsir ayat al-Quran untuk menjawab beberapa hal dalam masyarakat, dan sebagai hakim yang memutuskan perkara jika ada perselisihan di antara kaum muslimin. Dan yang ketiga, sebagai mubaligh
yang berdakwah untuk meyebarluaskan ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu merupakan kunci untuk menyelesaikan segala persoalan yang
berhubungan dengan kehidupan agama ataupun kehidupan dunia. Islam adalah sebuah agama yang sangat menghargai ilmu
pengetahuan, bukan hanya teori melainkan juga dalam praktiknya. Keutamaan dari
orang yang mencari ilmu itu salah satunya adalah di angkat derajatnya hingga
dimudahkan jalan menuju surga.
Dalam mencari ilmu itu juga ada adab nya antara lain:
ikhlas karena Allah, berniat menghilangkan kebodohan dalam dirinya, berniat
untuk menuntut ilmu untuk membela syari’at, lapang dada dalam menerima
perbedaan pendapat, mengamalkan ilmu yang telah didapat, menghormati ulama dan
memuliakan mereka, mencari kebenaran dan
sabar, memegang teguh Al kitab dan As Sunnah, berupaya untuk memahami dan maksud Allah dan rosul-Nya
. dan untuk seorang pengajar juga ada tugasnya antara lain : mempunyai rasa
belas kasih pada muridnya, tidak mencari upah.
Ulama’ sangat berperan penting terhadap ilmu. Karena selain ulama,
itu sendiri menjadi pewaris nabi, ulama juga merupakan tokoh yang berperan
penting dalam masyarakat yang menjadi pemutus hukum, pendiri kelembagaan, serta
menjadi imam agama. Sehingga jika para ulama’ meninggal dapat dikatakan telah
kiamat, karena begitu pentingnya ilmu yang terdapat pada ulama’.
B. Kritik dan Saran
Kritik yang
membangun dari teman-teman serta dosen
kami tunggu demi terwujudnya karya tulis yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abi husain al muslim, “shohih muslim”, juz 2, beirut:dar al
kutub.
Bahreisy salim, 1984, “terjemah riyadhussolihin juz 2”, bandung:Al-Ma’arif.cet
ke delapan
http://sinjai.muhammadiyah.or.id/artikel-peran-ulama-dalam-institusi-pendidikan-detail-205.html.
Syaikh muhyiddin abi zakariya,
“riyadhussolihin”.juz 2, surabaya: dar an-nasr al-mishriyah
Yakub ismail, 1989, “ihya’al
ghazali”, Jakarta:faizan.juz 1
[1] Al-Ghazali, “ihya’ Al-Ghazali” (jakarta :faizan, 1989) hlm.52,
diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismail yakub MA-SH.
[2]http://7abdillahsyam.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html diakses pada 15/05/2014
[3] Al-Ghazali, “Ihya’ Al Ghazali”, (Jakarta: Faizan,1989) hlm.189.
cet.kesebelas, diterjemahkan oleh Prof.
Tk. H. Ismail yakub MA-SH.
[4]Al-Ghazali, “Ihya’ Al Ghazali”, (Jakarta: Faizan,1989) hlm.211.
cet.kesebelas, diterjemahkan oleh Prof.
Tk. H. Ismail yakub MA-SH.
[5]Al-Ghazali, “ihya’ Al-Ghazali” (jakarta :faizan, 1989) hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar