PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Teks al-Qur'an adalah wahyu Allah yang
tidak akan berubah oleh campur tangan manusia, akan tetapi pemahaman terhadap
al-Qur'an tidak tetap, selalu berubah sesuai dengan kemampuan orang yang
memahami isi kandungan al-Qur'an itu dalam rangka mengaktualkannya dalam bentuk
konsep yang bisa dilaksanakan. Dan ini akan terus berkembang sejalan tuntutan
dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia, maka di sinilah celah-celah orang
yang ingin menghancurkan Islam berperan. Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur'an
harus dipahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia yang beriman kepada
petunjuk itu, namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah
memahami al-Qur'an, bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum
menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara
alamiah struktur bahasa dan kosa katanya. Tidak jarang mereka berbeda pendapat
atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengar atau yang
mereka baca.[1]Karena
itu Rasulullah berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) maksud firman Allah
SWT.
Pada masa Rasulullah saw hidup, umat
Islam tidak banyak menemukan kesulitan dalam memahami petunjuk dalam mengarungi
hidupnya, sebab manakala menemukan kesulitan dalam satu ayat, mereka akan
langsung bertanya kepada Rasulullah saw dan kemudian Beliau menjelaskan maksud
kandungan ayat tersebut. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah SAW, umat Islam
banyak menemukan kesulitan karena meskipun mereka mengerti bahasa Arab,
al-Qur'an terkadang mengandung isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh
pikiran orang-orang Arab. Oleh karena itu mereka membutuhkan tafsir yang bisa
membimbing dan menghantarkan mereka untuk memahami isyarat-isyarat seperti itu.
Langkah pertama yang mereka ambil adalah melihat pada hadits Rasulullah saw,
karena mereka berkeyakinan bahwa Beliaulah satu-satunya orang yang paling
banyak mengetahui makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil
langkah dengan cara menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya, langkah
selanjutnya yang mereka tempuh adalah menanyakannya kepada sahabat yang
terlibat langsung serta memahami konteks posisi ayat tersebut. Manakala mereka
tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi atau sahabat, mereka terpaksa
melakukan ijtihad dan lantas berpegang kepada pendapatnya sendiri, khususnya
mereka yang mempunyai kapasitas intelektual yang mumpuni seperti Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud ra.[2] Dari
situlah Kemudian timbul beberapa cabang tafsir, salah satunya penafsiran
mengenai tuhan(Allah SWT) yang berkembang dalam beberpa kitab tafsir.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas, dalam makalah ini akan membahas tentang beberapa tafsir ayat
al-quran tentang tuhan yang ada dalam ayat
Al-araf 172, Al-anbiya 22, Al-anbiya 25, Fusilat
30.
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan
pembahasan dalam makalah ini, supaya mengetahui beberapa beberapa penafsiran
ayat al-Quran tentang tuhan, yang meliputi ayat ayat Al-araf 172,
Al-anbiya 22, Al-anbiya 25, Fusilat 30.
BAB II
PEMBAHASAN
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ
مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ شَهِدْنَا
أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)", (Al-araf 172)
Tafsir Mufradat
الظهور: واحدها
ظهر، وهو ما فيه العمود الفقرى لهيكل الإنسان الذي هو قوام بنيته فيصح أن يعبر به عن
جملة الجسد، والذرية: سلالة الإنسان من الذكور والإناث، والشهادة تارة قولية كما قال:
الُوا شَهِدْنا عَلى أَنْفُسِنا[3]
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu
manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun-temurun,
yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh ruh mereka
untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keEsan-Nya, keajaiban
proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh
sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra, dengan urat nadi dan sistem urat
syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya.
Dengan
ayat ini Allah bermaksud menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian
manusi itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia
itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda
keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri. Penolakan terhadap ajaran Tauhid
yang dibawa Nabi itu sebenarnya perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia
dan dengan suara hati nurani mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada
hari Kiamat nanti mengajukan alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan
untuk mengesakan Allah. Fitrah mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa
mengingatkan mereka untuk mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta
menjauhkan diri dari syirik.
لَوْ كَانَ فِيهِمَا
آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا
يَصِفُونَ
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan
selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah
yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan (al anbiya 22)
Tafsir Mufradat
لفسدتا: أي لخرجتا عن نظامهما وخربتا، فسبحان
الله: أي تنزيها له عما وصفوه به
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا
فَاعْبُدُونِ [4]
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum
kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".(Al-anbiya 25)
Maka setiap Nabi yang diutus oleh Allah mengajak
untuk beribadah hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan fitrah pun
menjadi saksi hal tersebut. Sedangkan orang-orang musyrik tidak memiliki bukti
dan hujjah yang jelas di sisi Rabb mereka, mereka akan mendapatkan kemurkaan
dan azab yang amat pedih
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا
تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,
maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu
takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu".(Fusilat 30)
Tafsir Mufradat
استقاموا: أي ثبتوا على الإيمان ولم يرجعوا
إلى الشرك[5]
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat
tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
-
Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh
Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid.
-
Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
-
Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut
menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.
Ayat di atas
menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan,
maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput
“Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam
menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian
hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak,
keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan
mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan.
Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam
kejelekan.
Al Hasan Al Bashri
ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna,
farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah
keistiqomahan pada kami).”
Yang
serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ
يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap
istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin
Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ
أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ –
قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang
mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang
hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain
engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah:
“Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.” Ibnu
Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup
wasiat dalam agama ini seluruhnya.”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Ketauhidan umat manusia
terhadap Allah SWT merupakan fitrah sejak lahir dan merupakan fitrah seorang
manusia untuk percaya terhadap adnya tuhan.
2. Tiada tuhan yang patut
disembah selain Allah SWT.
3. Allah SWT menjanjikan bahwa
setiap hamba yang beriman kepadaNya akan dimasukkan surga.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Quran al-karim
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir,al-Mufassirin,(Mesir:
Dar al-Kutub wal al-Hadits, 1976
M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992
Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Tafsir almaraghi (Shamila)
[1] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir,al-Mufassirin,(Mesir:
Dar al-Kutub wal al-Hadits, 1976), jilid I, 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar